RI dan Negara Lain Rentan 'Dikerjai' Trump? Gara-Gara Visa & Mastercard!

Rawan Dimainkan Trump, Indonesia dan Banyak Negara Bergantung Pada Visa & Mastercard

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memang selalu berhasil membuat dunia ekonomi berputar lebih cepat dari biasanya. Kebijakan-kebijakannya seringkali datang secara tiba-tiba dan sulit ditebak, membuat banyak negara kelimpungan mencari cara untuk beradaptasi. Salah satu isu yang paling sering menjadi perhatian adalah kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh AS.

Ketidakpastian Ekonomi Global Akibat Trump

Keputusan Trump untuk menerapkan tarif impor balasan terhadap berbagai barang yang masuk ke AS benar-benar mengejutkan banyak pihak. Tidak hanya mengejutkan, kebijakan ini juga sulit dipahami secara logika ekonomi yang lazim. Bayangkan saja, tiba-tiba saja biaya impor barang menjadi lebih mahal, tentu ini akan berdampak langsung pada harga barang di pasar dan ujung-ujungnya konsumen yang akan merasakan dampaknya.

Namun, yang lebih bikin geleng-geleng kepala adalah sifat Trump yang plin-plan. Seperti yang pernah terjadi, ia bisa saja tiba-tiba mengubah keputusannya. Contohnya, ketika ia menunda penerapan tarif impor yang sudah ditetapkan secara sepihak selama 90 hari. Ini menunjukkan betapa sulitnya memprediksi langkah-langkah ekonomi dari pemerintahan Trump. Ketidakpastian ini tentu saja membuat para pelaku ekonomi dan pemerintah negara lain harus selalu waspada dan siap dengan segala kemungkinan.

Perang Dagang yang Meluas

Pertanyaan besarnya sekarang, apakah ‘permainan’ perang dagang ini hanya akan berkutat di seputar tarif? Atau, apakah arena pertarungan ini akan meluas ke bidang lain? Mungkin saja Trump tidak hanya menggunakan tarif, tetapi juga larangan ekspor produk atau komoditas tertentu sebagai senjata dalam perang dagangnya. Bahkan, bisa jadi pertarungan ini akan merambah ke sektor-sektor lain yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Kondisi yang serba tidak pasti ini seharusnya menyadarkan banyak negara, termasuk Indonesia, untuk mengambil langkah antisipasi. Ketergantungan yang terlalu besar terhadap AS dalam bidang ekonomi bisa menjadi bumerang ketika AS mengambil kebijakan yang merugikan. Oleh karena itu, penting bagi negara-negara untuk mencari cara melepaskan diri dari ketergantungan ini dan membangun kemandirian ekonomi.

Ketergantungan pada Visa & Mastercard

Judul artikel ini menyebutkan Visa dan Mastercard. Apa hubungannya dengan kerentanan terhadap ‘permainan’ Trump? Mungkin banyak dari kita tidak menyadari betapa pentingnya peran Visa dan Mastercard dalam sistem keuangan global saat ini. Kedua perusahaan ini adalah raksasa dalam industri pembayaran, dan kartu kredit serta debit mereka digunakan di hampir seluruh dunia.

Coba bayangkan, hampir semua transaksi online dan offline di berbagai negara melibatkan jaringan Visa dan Mastercard. Mulai dari belanja di supermarket, pesan tiket pesawat, hingga pembayaran di restoran, semua bisa dilakukan dengan kartu yang berlogo Visa atau Mastercard. Sistem pembayaran global modern sangat bergantung pada infrastruktur yang dibangun oleh kedua perusahaan ini.

Potensi Risiko Politik

Ketergantungan yang besar pada segelintir perusahaan, apalagi yang berasal dari satu negara, selalu mengandung risiko. Dalam konteks geopolitik saat ini, di mana tensi antara negara-negara besar seringkali meningkat, risiko ini menjadi semakin nyata. Jika pemerintah AS, misalnya, memutuskan untuk menggunakan Visa dan Mastercard sebagai alat tekanan politik, dampaknya bisa sangat luas.

Misalnya, pemerintah AS bisa saja mengeluarkan kebijakan yang membatasi atau bahkan melarang Visa dan Mastercard untuk beroperasi di negara-negara tertentu yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan AS. Atau, mereka bisa saja mengenakan sanksi yang membuat negara-negara tertentu kesulitan mengakses sistem pembayaran global melalui Visa dan Mastercard.

Tentu saja, ini baru spekulasi. Namun, melihat bagaimana Trump seringkali menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan politik dan ekonominya, skenario seperti ini tidak bisa sepenuhnya dikesampingkan. Negara-negara yang sangat bergantung pada Visa dan Mastercard perlu menyadari potensi risiko ini dan mulai mencari alternatif.

Mencari Alternatif Sistem Pembayaran

Langkah antisipasi yang paling logis adalah mengurangi ketergantungan pada Visa dan Mastercard. Ini bukan berarti harus sepenuhnya meninggalkan sistem yang sudah ada, tetapi lebih kepada membangun sistem pembayaran alternatif yang lebih beragam dan tidak terlalu terpusat pada satu atau dua perusahaan AS.

Beberapa negara sudah mulai bergerak ke arah ini. Tiongkok, misalnya, dengan sistem pembayaran digital seperti Alipay dan WeChat Pay, telah berhasil membangun ekosistem pembayaran digital yang sangat besar dan tidak bergantung pada Visa dan Mastercard. Bahkan, Alipay dan WeChat Pay kini mulai merambah pasar internasional.

Di Eropa, juga ada upaya untuk mengembangkan sistem pembayaran pan-Eropa yang mandiri dan tidak tergantung pada perusahaan-perusahaan AS. Inisiatif seperti ini menunjukkan kesadaran bahwa ketergantungan pada sistem pembayaran asing bisa menjadi kerentanan di era geopolitik yang tidak pasti.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia juga perlu memikirkan langkah serupa. Meskipun Visa dan Mastercard sudah sangat mengakar di Indonesia, bukan berarti tidak ada ruang untuk mengembangkan sistem pembayaran alternatif. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu mendorong inovasi dalam sistem pembayaran digital dan mendukung pengembangan sistem pembayaran domestik yang lebih kuat.

Salah satu contohnya adalah pengembangan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). QRIS adalah standar kode QR nasional yang memungkinkan berbagai aplikasi pembayaran digital dan dompet elektronik untuk saling terhubung dan beroperasi secara interoperable. Dengan QRIS, konsumen dan pedagang bisa menggunakan berbagai pilihan pembayaran digital dengan lebih mudah dan efisien.

Selain QRIS, Indonesia juga perlu terus mengembangkan infrastruktur pembayaran digital lainnya, seperti sistem pembayaran real-time dan sistem pembayaran lintas batas yang lebih efisien. Kerja sama dengan negara-negara lain untuk membangun sistem pembayaran regional atau multilateral juga bisa menjadi opsi yang menarik.

Baca Juga: loading

Dampak Perang Dagang pada Rupiah dan Ekonomi Indonesia

Selain isu ketergantungan pada sistem pembayaran, perang dagang yang dipicu oleh kebijakan Trump juga memiliki dampak langsung pada ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Salah satu dampak yang paling terasa adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Ketika tensi perang dagang meningkat, investor cenderung mencari aset yang lebih aman (safe haven), seperti dolar AS. Akibatnya, permintaan terhadap dolar AS meningkat, dan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah, cenderung melemah. Pelemahan rupiah tentu saja bisa berdampak pada berbagai aspek ekonomi, mulai dari inflasi hingga biaya impor.

Selain nilai tukar, perang dagang juga bisa mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Jika AS mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap produk-produk Indonesia, daya saing produk Indonesia di pasar AS bisa menurun. Akibatnya, ekspor Indonesia ke AS bisa berkurang, yang pada gilirannya bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Namun, di sisi lain, perang dagang juga bisa membuka peluang bagi Indonesia. Misalnya, jika AS mengurangi impor dari Tiongkok, Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan ekspor ke AS atau ke negara lain yang mencari alternatif pasokan dari Tiongkok. Pemerintah Indonesia perlu jeli melihat peluang dan tantangan yang muncul akibat perang dagang ini dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melindungi dan meningkatkan kinerja ekonomi nasional.

Langkah Antisipasi dan Diversifikasi Ekonomi

Menghadapi ketidakpastian ekonomi global dan potensi ‘permainan’ dari negara-negara besar, langkah yang paling bijaksana adalah melakukan diversifikasi ekonomi. Diversifikasi ini bisa dilakukan dalam berbagai bidang, mulai dari diversifikasi pasar ekspor, diversifikasi sumber impor, hingga diversifikasi sektor ekonomi.

Diversifikasi pasar ekspor berarti tidak hanya bergantung pada satu atau dua negara tujuan ekspor utama. Indonesia perlu mencari pasar-pasar ekspor baru, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diversifikasi sumber impor juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu atau dua negara pemasok utama.

Selain diversifikasi eksternal, diversifikasi internal juga perlu dilakukan. Indonesia perlu terus mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang memiliki daya saing tinggi dan tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam. Sektor manufaktur, sektor jasa, dan ekonomi digital adalah contoh sektor-sektor yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru.

Memperkuat Ekonomi Domestik

Pada akhirnya, fondasi ekonomi yang kuat dan mandiri adalah kunci untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang di era globalisasi ini. Memperkuat ekonomi domestik berarti meningkatkan daya saing industri nasional, mengembangkan UMKM, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Dengan ekonomi domestik yang kuat, Indonesia akan lebih tahan terhadap guncangan eksternal dan lebih mampu memanfaatkan potensi pasar domestik yang besar. Kemandirian ekonomi juga akan memberikan Indonesia posisi tawar yang lebih kuat dalam hubungan ekonomi internasional.

Kesimpulan

Ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan-kebijakan Trump memang menjadi tantangan tersendiri bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Ketergantungan pada sistem pembayaran global yang didominasi oleh perusahaan AS seperti Visa dan Mastercard juga menyimpan potensi risiko politik. Oleh karena itu, langkah antisipasi dan diversifikasi ekonomi menjadi sangat penting.

Indonesia perlu terus berupaya mengurangi ketergantungan pada pihak asing, membangun sistem pembayaran domestik yang lebih kuat, melakukan diversifikasi pasar ekspor dan sumber impor, serta memperkuat ekonomi domestik secara keseluruhan. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang di tengah dinamika ekonomi global yang terus berubah.

Bagaimana pendapat Anda tentang potensi kerentanan Indonesia dan negara lain terhadap kebijakan ekonomi negara besar? Yuk, diskusikan di kolom komentar!

Posting Komentar