Perang AS-Iran Meletus: Nasib Bitcoin Gimana? Investor Wajib Tahu!
Situasi di Timur Tengah lagi panas-panasnya, guys. Perang antara Israel dan Iran udah jalan hampir seminggu penuh nih. Tiap hari berita seliweran, ketegangan makin naik, tapi ada satu hal yang cukup bikin dahi berkerut: harga Bitcoin (BTC) kok ya anteng aja di atas angka keramat US$ 100.000. Kayaknya pasar kripto lagi coba cuek bebek aja sama urusan geopolitik ya? Tapi tunggu dulu, ini bukan berarti semuanya aman terkendali.
Justru, di balik ketenangan harga BTC saat ini, ada ketidakpastian gede banget soal arah pasar ke depannya. Apalagi, peluang Amerika Serikat buat ikut campur secara militer dalam konflik ini semakin gede. Kalau sampe beneran kejadian, ini bisa mengubah drastis dinamika pasar global, termasuk pastinya nasib si raja kripto ini.
Menurut analisis dari QCP Capital, sebuah perusahaan trading kripto beken dari Singapura, harga BTC sekarang ini lagi kejepit di antara dua risiko besar yang disebut sebagai “tail risks”. Bayangin aja ada dua badai gede lagi ngumpul, dan BTC ada di tengah-tengahnya. Kedua badai ini adalah eskalasi konflik alias perang makin meluas, dan lonjakan inflasi global yang bisa bikin harga-harga makin nggak terkendali.
QCP Capital ini ngasih peringatan serius soal risiko yang pertama. Mereka bilang, kalau Iran ngerasa udah nggak punya pilihan lain dan terpojok, ada kemungkinan nyata mereka bakal coba blokade Selat Hormuz. Buat yang belum tahu, Selat Hormuz itu jalur laut super vital di Timur Tengah, tempat lewatnya sebagian besar kapal tanker yang ngangkut minyak dunia.
Bayangin deh kalau jalur ini diblokir, pasokan minyak global langsung seret. Itu artinya harga minyak bakal langsung merokyak ke langit! Nah, lonjakan harga minyak ini jelas bakal memperparah tekanan inflasi global yang emang udah rapuh banget dari awal tahun ini. Ekonomi global kayak lagi jalan di atas tali tipis, ditambah gangguan pasokan minyak, bisa-bisa langsung jatuh bebas ke jurang inflasi tinggi.
QCP Capital sendiri menegaskan kekhawatiran ini dalam update pasar mereka. Mereka secara gamblang menulis, “Jika terjadi blokade penuh di Selat Hormuz, kita bisa melihat lonjakan inflasi lain, tepat saat kondisi makro global sudah tegang.” Kalimat ini nunjukkin betapa seriusnya dampak potensial dari skenario terburuk ini. Lonjakan inflasi ini bukan cuma sekadar naik dikit, tapi bisa jadi pukulan telak buat stabilitas ekonomi dunia yang udah goyah.
Amerika Makin Dekat ke Garis Api¶
Nah, kalau risiko eskalasi konflik udah serem, ditambah lagi sama pergerakan Amerika Serikat. Situasi jadi makin mencemaskan setelah Presiden Donald Trump ngeluarin pernyataan yang bisa dibilang super keras. Beliau terang-terangan menuntut Iran buat “menyerah tanpa syarat”. Pernyataan kayak gini jelas bukan isapan jempol belaka, apalagi diiringi laporan soal pengerahan perlengkapan militer AS besar-besaran ke wilayah Timur Tengah.
Pergerakan fisik berupa pengiriman alat perang dan personel ini nunjukkin kesiapan AS buat mengambil langkah lebih jauh. Ini bukan cuma gertakan politik biasa, tapi ada persiapan serius di balik layar. Kapal perang, pesawat tempur, rudal, semua dilaporkan bergerak menuju kawasan yang lagi berkonflik itu. Tujuannya jelas, buat nunjukkin kekuatan dan mungkin bersiap untuk skenario terburuk, yaitu intervensi militer langsung.
Sebagai investor yang cermat, kita nggak bisa cuma ngandelin berita mainstream aja. Data dari platform prediksi pasar kayak Polymarket juga bisa ngasih gambaran soal ekspektasi pasar terhadap peristiwa krusial ini. Dan data dari Polymarket itu lumayan bikin kaget. Probabilitas atau kemungkinan Amerika Serikat ikut terlibat perang sebelum bulan Juli ini dilaporkan udah tembus angka 60 persen!
Bayangin, lebih dari setengah kemungkinan nunjukkin AS bakal nyemplung ke konflik dalam waktu sebulan ke depan. Angka ini bahkan melonjak drastis sampai 90 persen untuk skenario sebelum bulan Agustus. Ini artinya, pasar prediksi (yang biasanya cukup sensitif sama sentimen dan informasi) hampir menganggap intervensi militer Amerika sebagai sesuatu yang pasti bakal terjadi, cepat atau lambat dalam beberapa bulan ke depan.
Angka probabilitas setinggi ini di Polymarket bener-bener jadi sinyal merah buat investor. Ini bukan lagi soal kemungkinan kecil atau black swan event yang nggak terduga, tapi udah jadi skenario dasar yang diperhitungkan sama banyak pelaku pasar. Kalau pasar udah saking yakinnya AS bakal ikut campur, dampaknya ke sentimen risiko global bisa sangat signifikan. Investor cenderung bakal jadi super hati-hati atau bahkan menarik dananya dari aset-aset yang dianggap berisiko tinggi.
Bitcoin Bereaksi: Safe Haven atau Saham Teknologi?¶
Sekarang kita fokus ke Bitcoin lagi. Secara teori, Bitcoin sering disebut-sebut sebagai aset “lindung nilai” atau safe haven. Artinya, di saat-saat ekonomi atau geopolitik lagi nggak pasti, orang-orang bakal lari ke Bitcoin buat nyimpen aset mereka, mirip kayak emas atau obligasi pemerintah. Harapannya, harga Bitcoin justru naik atau setidaknya stabil pas aset lain anjlok. Bitcoin juga sering diklaim sebagai pelindung nilai terhadap inflasi, karena pasokannya yang terbatas.
Tapi, kenyataannya di tengah perang Israel-Iran yang memanas ini, Bitcoin belum menunjukkan perilaku sebagai safe haven yang sesungguhnya. Harga memang bertahan di atas US$ 100.000, tapi pergerakannya nggak mencerminkan fungsi lindung nilai tradisional. Kalau Bitcoin beneran jadi safe haven, kita harusnya ngeliat korelasinya positif dan kuat sama emas, atau setidaknya korelasinya negatif sama pasar saham yang cenderung turun di masa krisis.
Data terbaru justru nunjukkin hal sebaliknya. Korelasi BTC terhadap emas saat ini tercatat sangat rendah, malah sedikit negatif di angka -0,07. Ini artinya, pergerakan harga Bitcoin hampir nggak ada hubungannya sama pergerakan harga emas. Kalau emas naik karena orang cari safe haven, Bitcoin kok ya biasa aja.
Di sisi lain, korelasinya sama indeks saham teknologi Nasdaq malah lumayan tinggi, mencapai +0,61. Angka korelasi positif ini nunjukkin bahwa pergerakan harga Bitcoin sekarang ini lebih mirip sama pergerakan saham-saham teknologi yang dikenal punya volatilitas tinggi (aset risk-on). Dalam kata lain, Bitcoin saat ini berperilaku lebih seperti “saham teknologi dengan beta tinggi” ketimbang aset lindung nilai tradisional. Ini tentu jadi pertimbangan penting buat investor yang berharap BTC bisa jadi tameng di masa krisis.
Sentimen Pasar Opsi: Ada Optimisme Jangka Pendek, Tapi…¶
Buat ngeliat gimana ekspektasi trader profesional soal pergerakan harga Bitcoin ke depan, kita bisa lihat data dari pasar opsi (options market). Pasar opsi ini basically tempat orang bertaruh atau melakukan hedging (lindung nilai) terhadap pergerakan harga aset di masa depan. Ada yang namanya “skew delta 25”, ini indikator yang ngukur perbedaan harga antara opsi beli (call option) dan opsi jual (put option) pada level harga tertentu. Ini bisa ngasih gambaran soal sentimen pasar: apakah trader lebih banyak yang “bullish” (berharap harga naik) atau “bearish” (berharap harga turun).
Saat ini, data skew delta 25 buat tenor 1 minggu dan 1 bulan itu positif, masing-masing naik ke 8 persen dan 5 persen. Angka positif ini nunjukkin adanya minat beli yang cukup kuat buat call option di jangka pendek (1 minggu sampai 1 bulan). Ini bisa diartikan bahwa ada sebagian trader yang cukup optimis dan bertaruh harga Bitcoin bakal naik dalam waktu dekat. Mungkin mereka ngeliat ini sebagai peluang rebound teknikal atau percaya fundamental Bitcoin cukup kuat buat nahan gejolak jangka pendek.
Tapi, optimisme ini kayaknya cuma terbatas buat jangka pendek aja. Skew delta 25 buat tenor yang lebih panjang, yaitu 6 bulan, masih tercatat negatif. Skew negatif di tenor panjang ini mengindikasikan bahwa ada kebutuhan yang lebih besar buat put option, alias opsi jual. Ini nunjukkin bahwa banyak trader atau investor yang justru melakukan hedging atau lindung nilai terhadap risiko penurunan harga Bitcoin di jangka waktu yang lebih panjang (dalam 6 bulan ke depan).
Kebutuhan hedging jangka panjang ini kemungkinan besar terkait sama risiko-risiko yang tadi udah kita bahas: potensi eskalasi konflik yang berkepanjangan dan ancaman inflasi yang terus membayangi. Jadi, meskipun ada harapan rebound singkat, kekhawatiran terhadap skenario makro dan geopolitik yang buruk di paruh kedua tahun ini masih sangat terasa di pasar opsi.
Dampak Kebijakan Moneter Fed¶
Selain urusan perang dan inflasi, satu faktor krusial lain yang sangat mempengaruhi pasar kripto adalah kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed). Suku bunga acuan The Fed itu punya dampak domino ke seluruh pasar keuangan global. Kalau suku bunga tinggi, biaya pinjaman jadi mahal, ini cenderung mengerem pertumbuhan ekonomi dan bikin investor mikir-mikir lagi buat naruh uang di aset-aset berisiko tinggi kayak saham atau kripto. Sebaliknya, kalau suku bunga turun, likuiditas di pasar meningkat dan aset berisiko jadi lebih menarik.
QCP Capital memprediksi bahwa ketegangan geopolitik yang lagi terjadi ini bisa banget bikin The Fed menahan diri buat nggak memangkas suku bunga di paruh kedua tahun ini. Padahal, sebelumnya pasar dan banyak analis sempat memperkirakan The Fed bakal mulai nurunin suku bunga di pertengahan atau akhir tahun ini.
Mereka bilang, “Pasar saat ini memperkirakan dua pemangkasan di 2025, tapi kami percaya The Fed bisa mengisyaratkan hanya satu.” Artinya, QCP Capital ngeliat ada kemungkinan besar The Fed bakal lebih hawkish (cenderung naikin atau nahan suku bunga tinggi) dari ekspektasi pasar. Kenapa? Karena inflasi masih jadi ancaman serius, apalagi kalau ditambah dengan risiko lonjakan harga energi akibat konflik.
Bank sentral kayak The Fed punya mandat buat jaga stabilitas harga (ngendaliin inflasi) dan maksimalkan lapangan kerja. Kalau inflasi naik gara-gara perang dan pasokan minyak, The Fed bakal dilema. Nurunin suku bunga buat dukung pertumbuhan ekonomi bakal bikin inflasi makin liar. Jadi, opsi paling aman buat The Fed adalah menahan suku bunga tinggi atau bahkan ngasih sinyal kalau mereka nggak akan buru-buru nurunin suku bunga, demi melawan inflasi.
Revisi proyeksi soal pemangkasan suku bunga ini bisa jadi pukulan telak buat aset-aset berisiko, termasuk Bitcoin. Kalau The Fed ternyata cuma nurunin suku bunga sekali atau bahkan nggak sama sekali di 2025, itu bakal ngecewain pasar yang udah price in (memasukkan dalam perhitungan) harapan pemangkasan lebih banyak.
Ketika suku bunga riil (suku bunga dikurangi inflasi) tetap tinggi, aset safe haven yang kasih return pasti (kayak obligasi pemerintah atau deposito) jadi lebih menarik dibanding aset berisiko yang harganya bisa naik turun drastis. Ini bisa bikin investor berbondong-bondong pindah dari aset-aset spekulatif kayak kripto ke aset yang lebih aman. Situasi ini diperparah kalau pasar beneran beralih ke mode risk-off akibat kombinasi badai perang yang meluas dan inflasi yang menggila.
Skenario untuk Bitcoin ke Depan¶
Dengan semua faktor yang lagi main ini, gimana sih kira-kira skenario yang mungkin terjadi buat harga Bitcoin?
-
Skenario 1: Perang Eskalasi + AS Ikut + Inflasi Naik Drastis.
Ini skenario terburuk. Kalau AS beneran nyemplung, konflik meluas, dan Selat Hormuz terblokir bikin inflasi super tinggi, pasar global kemungkinan bakal panik. Investor bakal lari ke aset paling aman kayak emas dan obligasi AS jangka pendek. Bitcoin, yang saat ini berperilaku kayak aset berisiko, kemungkinan besar bakal ikut anjlok bareng pasar saham. Harapan Bitcoin sebagai safe haven mungkin baru muncul belakangan, kalau situasi udah sangat kacau dan sistem finansial tradisional goyah. Tapi di awal-awal gejolak, tekanan jual bakal kuat. -
Skenario 2: Perang Terkendali + Inflasi Tinggi.
Kalau perang nggak meluas parah ke tingkat intervensi AS skala besar tapi inflasi tetap tinggi (mungkin karena faktor lain atau dampak pasokan yang nggak separah blokade total), The Fed tetap punya alasan kuat buat nahan suku bunga tinggi. Di skenario ini, Bitcoin mungkin nggak anjlok drastis kayak skenario pertama, tapi tetap bakal kena tekanan karena suku bunga tinggi dan pasar yang cenderung risk-off karena inflasi. Bitcoin mungkin akan bergerak sideway atau perlahan turun. -
Skenario 3: Perang Mereda + Inflasi Terkendali (Sesuai Ekspektasi Awal).
Ini skenario terbaik buat aset berisiko. Kalau ketegangan mereda, AS nggak jadi intervensi militer skala besar, dan inflasi bisa dikendalikan, The Fed punya ruang buat mulai nurunin suku bunga sesuai rencana awal. Di skenario ini, likuiditas bakal kembali ke pasar, sentimen risk-on menguat, dan aset-aset berisiko kayak Bitcoin punya peluang besar buat rally alias naik kenceng. Ini skenario yang diharapkan investor Bitcoin “bullish”. -
Skenario 4: Perang Merda, Tapi Inflasi Tinggi.
Ini skenario yang lumayan rumit. Kalau perang usai tapi dampak inflasi udah terlanjur nyebar (misalnya, harga energi udah naik duluan atau rantai pasok udah terganggu), The Fed tetap bakal hati-hati sama pemangkasan suku bunga. Pasar bisa terpecah, sebagian optimis karena geopolitik reda, sebagian khawatir karena inflasi dan suku bunga tinggi. Bitcoin mungkin bakal bergerak fluktuatif atau sideway, menunggu kejelasan sinyal dari The Fed.
Pentingnya Pantau Terus¶
Dalam situasi yang nggak pasti ini, para investor Bitcoin wajib banget pantau terus perkembangan di tiga area utama:
- Geopolitik: Pergerakan militer AS, negosiasi diplomatik, dan terutama situasi di Selat Hormuz.
- Inflasi: Data inflasi dari berbagai negara, khususnya AS dan Eropa, serta harga komoditas seperti minyak dan gas.
- Kebijakan Moneter: Pernyataan dan sinyal dari The Fed, data ekonomi AS yang jadi dasar keputusan mereka (misal: data pekerjaan, data pertumbuhan ekonomi).
Pergerakan harga Bitcoin di atas US$ 100.000 saat ini bisa jadi cuma ketenangan sesaat sebelum badai. Dua “tail risks” yang disebut QCP Capital itu nyata dan dampaknya bisa masif. Investor yang cerdas harus siap dengan berbagai skenario dan nggak cuma terpaku pada satu kemungkinan aja. Fleksibilitas dan kesiapan buat bereaksi terhadap informasi baru bakal jadi kunci buat survive dan bahkan mungkin profit di pasar yang lagi volatile ini.
Gimana menurut kamu, guys? Apakah Bitcoin bakal beneran jadi safe haven kalau perang makin meluas? Atau justru bakal anjlok bareng pasar saham? Yuk, share pendapat dan analisis kamu di kolom komentar!
Posting Komentar