Dimsum Mentai: Dulu Viral, Kok Sekarang Sepi? Ini Kata Penjual!
Jakarta – Siapa sih yang nggak kenal dimsum mentai? Setahun belakangan ini, jajanan gurih dengan topping saus mentai ala Jepang ini sempat jadi primadona. Bahkan, saking enaknya, netizen di X (Twitter) sampai menobatkan dimsum mentai sebagai makanan enak dari surga. Bayangin aja, sepopuler itu lho!
Dulu, di mana-mana kita bisa nemu dimsum mentai. Mulai dari penjual kaki lima, kafe hits, sampai ibu-ibu yang jualan dari rumah, semua berlomba-lomba menawarkan menu ini. Antrean pembelinya pun nggak pernah sepi, semua penasaran pengen nyicip sensasi dimsum yang berpadu dengan gurihnya saus mentai yang creamy itu. Rasanya jadi sebuah fenomena kuliner yang wajib banget dicoba semua orang.
Tapi, seperti roda kehidupan yang terus berputar, tren makanan juga gitu. Datang dan pergi silih berganti, apalagi di era media sosial sekarang ini. Apa-apa yang viral bisa cepat meroket, tapi juga bisa cepat meredup. Nah, nasib ini tampaknya lagi menimpa dimsum mentai, yang dulunya digilai tapi kini disebut-sebut sudah mulai ditinggalkan.
Kilas Balik Masa Kejayaan Dimsum Mentai¶
Mari kita ingat-ingat lagi bagaimana dimsum mentai bisa begitu berjaya. Awalnya, ide mengawinkan dimsum kukus atau goreng dengan saus mentai memang terbilang unik dan out of the box. Dimsum sendiri sudah punya banyak penggemar setia, sementara saus mentai dengan rasa gurih, sedikit pedas, dan creamy-nya juga lagi naik daun sebagai topping aneka makanan, dari nasi sampai salmon.
Perpaduan ini menciptakan sensasi rasa baru yang langsung mencuri perhatian lidah masyarakat Indonesia. Tampilannya yang fotogenik dengan warna oranye kemerahan dari saus mentai yang dibakar (torched) juga jadi nilai tambah. Ini bikin dimsum mentai sangat cocok buat dipamerin di Instagram atau TikTok, memicu FOMO (Fear Of Missing Out) di kalangan netizen yang akhirnya ikutan nyobain.
Dengan modal resep saus mentai yang relatif mudah dibuat dan dimsum yang juga gampang didapat, banyak pengusaha kuliner dadakan bermunculan. Dari skala rumahan sampai warung tenda di pinggir jalan, semua serentak menyajikan dimsum mentai. Ini menciptakan gelombang tren yang masif, dan dimsum mentai pun resmi jadi idola baru di dunia kuliner.
Suara Netizen: “Kok Sepi Peminat?”¶
Namun, popularitas dimsum mentai ini sayangnya nggak bertahan lama, nggak seperti ayam geprek atau seblak yang sampai sekarang masih jadi favorit. Baru-baru ini, sebuah akun sharing makanan di X, @FOOD_FESS, membuka diskusi panas soal fenomena ini. Postingan mereka pada tanggal 31 Agustus 2025 itu berbunyi, “Dimsum mentai kenapa peminatnya makin sepi ya guys?”
Pertanyaan ini sontak memancing beragam tanggapan dari netizen. Ada yang setuju, ada yang mencoba menganalisis penyebabnya, dan ada juga yang membandingkan dengan tren makanan lain. Topik ini jadi bukti bahwa meskipun popularitasnya meredup, dimsum mentai masih punya tempat di ingatan para pecinta kuliner. Banyak yang bertanya-tanya, apa sih sebenarnya yang bikin makanan “surga” ini jadi nggak selaku dulu?
Para pengguna X pun membanjiri kolom komentar dengan berbagai pandangan mereka. Dari faktor ekonomi sampai masalah kualitas, semua dibahas tuntas. Ini menunjukkan betapa cepatnya perubahan selera pasar dan pentingnya adaptasi bagi para pelaku bisnis kuliner.
Faktor Ekonomi: Kelas Menengah Turun Kelas¶
Salah satu analisis yang paling banyak mendapat dukungan datang dari akun @akungemes. Ia berkomentar, “Bukan cuma dimsum mentai nder, semua jualan yang targetnya kelas menengah juga mengalami penurunan, karena kelas menengah pada turun kelas dan nggak punya duit. Bisnis yang agak aman saat ini adalah bisnis yang menyasar kelas atas, makanya lapangan Padel tambah banyak.” Komentar ini disukai lebih dari 2,6 ribu pengguna X, menunjukkan banyak yang setuju dengan pandangan tersebut.
Krisis ekonomi atau kondisi pasar yang kurang stabil memang punya dampak besar pada daya beli masyarakat. Makanan seperti dimsum mentai, yang mungkin dianggap sebagai jajanan ‘mewah’ atau comfort food yang bukan kebutuhan pokok, jadi sasaran pertama untuk dikurangi pengeluarannya. Kalau duit makin mepet, orang pasti lebih pilih beli makanan yang lebih mengenyangkan dan esensial, atau mencari alternatif yang jauh lebih murah. Ini menjadi tantangan besar bagi para penjual makanan yang mengandalkan tren dan pasar kelas menengah.
Kualitas Saus Mentai yang Inkonsisten¶
Alasan lain yang juga sering disebut-sebut adalah masalah kualitas. Saus mentai memang terkesan mudah dibuat; bahan dasarnya cuma telur ikan (mentaiko atau tobiko), mayones, saus tomat, saus pedas, dan sedikit bubuk cabe. Karena kemudahannya ini, banyak banget penjual dimsum mentai yang bermunculan, tapi sayangnya nggak semua punya standar rasa yang sama.
Seorang netizen dengan akun @jimbonitukucing bercerita, “Penjual makanan terkadang bikin saus mentainya tidak enak. Kemarin nemu dimsum yang enak banget, pesan dua menu. Saus mentai dan tar-tar, yang lebih enak malah rasa saus tar-tarnya.” Pengalaman seperti ini bukan cuma satu atau dua kali terjadi. Banyak yang kecewa karena saus mentai yang mereka dapatkan rasanya hambar, terlalu asam, terlalu pedas, atau bahkan encer, jauh dari ekspektasi creamy dan gurih yang sering dipromosikan.
Konsistensi rasa adalah kunci dalam bisnis kuliner. Jika pembeli sering kecewa dengan kualitas yang tidak standar, lambat laun mereka akan beralih ke pilihan lain. Apalagi dengan banyaknya opsi makanan lain yang terus bermunculan, kesalahan kualitas fatal bisa membuat pelanggan kapok dan tidak kembali lagi. Ini menunjukkan bahwa bahkan untuk makanan tren sekalipun, kualitas tetap harus jadi prioritas utama.
Harga yang Kurang Bersaing¶
Faktor harga juga nggak kalah penting. Beberapa netizen menyoroti bahwa harga dimsum mentai seringkali lebih mahal dibandingkan dengan dimsum atau siomay biasa. “Kebanyakan dimsum mentai itu harganya lumayan mahal, mana gak sebanding dengan saus mentai yang mereka buat dan rasanya asal-asalan. Selain itu orang-orang nahan pembelian yang tidak perlu karena kondisi ekonomi yang turun,” ujar @buah_tropical.
Kisaran harga dimsum mentai memang beragam, bisa dari Rp 20.000 sampai ratusan ribu rupiah tergantung jumlah dimsum dan kualitas saus mentai yang digunakan. Bandingkan dengan dimsum atau siomay biasa yang bisa didapat dengan harga lebih murah. Dalam kondisi ekonomi yang menantang, konsumen tentu akan lebih perhitungan dalam mengeluarkan uang untuk makanan non-pokok. Jika harganya mahal tapi kualitasnya tidak memuaskan, itu menjadi double blow bagi minat pembeli. Mereka merasa tidak worth it untuk membeli lagi.
Analisis Lebih Dalam: Mengapa Tren Ini Merosot?¶
Selain alasan-alasan yang disebut netizen, ada beberapa faktor lain yang mungkin berkontribusi pada meredupnya popularitas dimsum mentai.
1. Kecepatan Siklus Tren Kuliner Modern¶
Di era media sosial seperti sekarang, siklus tren kuliner memang bergerak sangat cepat. Sebuah makanan bisa mendadak viral dalam hitungan minggu, mencapai puncaknya, lalu meredup dalam beberapa bulan saja. Konten video pendek di TikTok atau Instagram Reels seringkali jadi pemicu utama, tapi juga bisa jadi penyebab cepatnya tren itu berakhir. Begitu ada inovasi baru, fokus publik langsung bergeser. Dimsum mentai mungkin jadi salah satu korban dari siklus tren yang brutal ini.
2. Ketiadaan Inovasi Lanjutan¶
Setelah dimsum mentai menemukan formula awalnya, apakah ada inovasi signifikan yang menyusul? Sepertinya tidak terlalu banyak. Kebanyakan penjual hanya menawarkan variasi saus mentai yang mirip atau topping sederhana. Dibandingkan dengan ayam geprek yang terus berinovasi dengan level pedas, topping, atau bahkan varian ayamnya, dimsum mentai cenderung stagnan. Ketiadaan inovasi membuat konsumen cepat bosan dan mencari sensasi baru.
3. Jenuhnya Pasar¶
Saat sebuah tren meledak, semua orang ingin ikut mengambil bagian. Akibatnya, pasar menjadi sangat jenuh dengan produk yang serupa. Ketika terlalu banyak pilihan, dan kualitasnya bervariasi, konsumen menjadi bingung dan mungkin kecewa. Ini justru bisa membuat minat terhadap produk itu secara keseluruhan menurun. Penjual harus bersaing ketat, bahkan kadang sampai banting harga yang justru menurunkan persepsi nilai produk.
4. Preferensi Rasa yang Bergeser¶
Selera pasar itu dinamis. Mungkin saja, setelah sekian lama makan dimsum mentai, konsumen mulai mencari rasa yang berbeda. Saus mentai yang gurih dan creamy memang enak, tapi bisa jadi terlalu ‘berat’ atau ‘eneg’ untuk dikonsumsi terlalu sering. Orang mungkin kembali ke selera yang lebih klasik, lebih ringan, atau mencari rasa yang lebih berani dan menantang.
Kata Penjual: Perspektif dari Balik Dapur¶
Sebagai seorang content writer profesional, saya mencoba merangkum perspektif hipotetis dari para penjual dimsum mentai yang mungkin menghadapi situasi ini. Tentu, mereka juga merasakan dampak dari perubahan tren ini.
Bapak Roni, Penjual Dimsum Mentai Kaki Lima: “Dulu, mas, omzet bisa dua kali lipat dibanding sekarang. Tiap hari stok mentai harus banyak, nggak pernah sisa. Sekarang, kadang sehari cuma laku separo. Saya akui, persaingan juga makin ketat. Banyak yang jual lebih murah, tapi kadang kualitasnya ya… gitu deh. Saya sih tetap pertahanin kualitas saus saya, biar pelanggan lama nggak kabur.”
Mbak Sinta, Pemilik Kafe dengan Menu Dimsum Mentai: “Kalau di kafe kami, dimsum mentai masih ada peminatnya, tapi memang nggak seramai dulu. Dulu itu hampir semua meja pasti pesan. Sekarang, lebih ke yang memang suka mentai saja. Kami coba inovasi dengan varian lain, seperti dimsum truffle atau dimsum mozza, biar tetap ada pilihan. Tren itu memang cepat banget berubah, jadi harus pintar-pintar adaptasi.”
Dari pengakuan hipotetis para penjual ini, terlihat bahwa mereka juga merasakan dampak langsung. Mereka harus berjuang lebih keras untuk mempertahankan pelanggan, berinovasi, atau bahkan menerima kenyataan bahwa tren memang sudah bergeser. Konsistensi kualitas dan adaptasi adalah kunci, tapi faktor eksternal seperti ekonomi juga tidak bisa dipungkiri.
Belajar dari Dimsum Mentai: Apa yang Membuat Sebuah Tren Kuliner Bertahan?¶
Fenomena dimsum mentai ini memberi kita pelajaran berharga tentang dunia kuliner. Mengapa ayam geprek atau seblak bisa bertahan dan terus digemari, sementara dimsum mentai meredup?
Fitur | Tren Bertahan (Ayam Geprek/Seblak) | Tren Fleeting (Dimsum Mentai) |
---|---|---|
Keterjangkauan | Umumnya harga terjangkau, cocok untuk segala kalangan | Cenderung lebih mahal, apalagi dengan saus mentai |
Versatilitas | Banyak variasi level pedas, topping, penyajian (nasi) | Varian terbatas, fokus pada saus mentai |
Kenyamanan | Makanan utama yang mengenyangkan, bisa jadi lauk | Lebih ke snack atau lauk pendamping |
Daya Tahan Tren | Mampu berinovasi, beradaptasi dengan selera baru | Inovasi cenderung stagnan setelah puncaknya |
Ketersediaan Bahan | Bahan utama mudah dan murah (ayam, kerupuk) | Bahan saus mentai (telur ikan) bisa lebih spesifik |
Segmentasi Pasar | Menyasar pasar luas, dari bawah hingga menengah | Awalnya menyasar kelas menengah ke atas |
Dari tabel di atas, terlihat bahwa makanan yang bertahan lama cenderung punya beberapa karakteristik kunci: terjangkau, versatile, dan bisa jadi makanan utama. Ayam geprek dan seblak memenuhi kriteria ini. Mereka bisa di-custom sesuai selera, harganya relatif ramah di kantong, dan cukup mengenyangkan. Dimsum mentai, meskipun enak, lebih condong sebagai snack atau comfort food yang harganya sedikit premium.
Masa Depan Tren Kuliner: Apa Selanjutnya?¶
Melihat cepatnya pergeseran tren, pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang akan menjadi tren kuliner berikutnya? Dan bagaimana para pelaku bisnis bisa belajar dari kasus dimsum mentai agar bisa menciptakan tren yang lebih berkelanjutan?
- Fokus pada Kualitas dan Konsistensi: Apapun makanannya, kualitas rasa dan konsistensi adalah nomor satu. Pelanggan akan tetap setia jika tahu mereka selalu mendapatkan produk terbaik.
- Inovasi Berkelanjutan: Jangan cepat puas. Teruslah berinovasi dengan varian baru, cara penyajian, atau bahkan kombinasi rasa yang tak terduga. Ini membuat produk tetap relevan dan menarik.
- Pertimbangkan Harga dan Aksesibilitas: Makanan yang bisa dijangkau oleh lebih banyak kalangan cenderung memiliki potensi pasar yang lebih besar dan jangka panjang.
- Dengarkan Pasar: Perhatikan feedback dari pelanggan dan amati tren yang sedang berkembang. Kemampuan adaptasi adalah kunci untuk bertahan di pasar yang dinamis.
Dimsum mentai mungkin tidak lagi sepopuler dulu, tapi ia telah meninggalkan jejak sebagai salah satu fenomena kuliner paling menarik di Indonesia. Kisahnya menjadi pengingat bahwa di dunia makanan, perubahan adalah konstan, dan adaptasi adalah segalanya.
Bagaimana menurut kalian? Apa makanan viral yang paling berkesan bagi kalian, dan kenapa kalian rasa trennya bisa bertahan atau justru menghilang dengan cepat? Yuk, bagikan pendapat kalian di kolom komentar di bawah!
Posting Komentar